Davidical Era – The Promised King
(Raja yang dijanjikan)
I. Pendahuluan
Perjanjian antara Allah dengan Daud
yang terdapat pada II Samuel 7 menempati tempat yang sangat penting di dalam
sejarah karya keselamatan, dan dapat disejajarkan dengan perjanjian antara
Allah dengan Abraham, dan antara Allah dengan Israel dan Yehuda di dalam perjanjian
yang baru (Yer. 31:31-34).
Selain perjanjian Allah dengan Daud yang
terdapat pada II Samuel 7, Kaiser mengambil tiga sudut pandang yang berbeda
dengan teolog-teolog lainnya, yakni: 1). Narasi berurutan tentang riwayat hidup
Daud (II Sam. 9-20 dan I Raj. 1-2; I Sam. 16-31, dan II Sam. 1-8; 21-24); 2).
Mazmur-mazmur rajawi (Maz. 2, 18, 20, 21, 45, 72, 89, 101, 110, 132, 144:1-11),
dan; 3). Sejarah tabut perjanjian (I Sam. 4:1-7:2), dan waktu Daud memindahkan
tabut perjanjian ke Yerusalem (II Sam. 6).
Sebelum masuk ke dalam pembahasan
yang lebih dalam, perlu bagi kita untuk mengetahui bahwa pemerintahan
hakim-hakim mendahului pemerintahan raja-raja. Pada masa hakim-hakim persekutuan
di antara orang Israel tidak terlalu kuat, mereka hanya berkumpul pada
saat-saat tertentu seperti berperang dan mempersembahkan korban.
Rapihnya organisasi bangsa-bangsa
tetangga yang dipimpin oleh raja membuat orang Israel menginginkan adanya
seorang raja untuk memerintah atas mereka. Namun di sisi lain suku-suku Israel
juga kesal karena secara otomatis kemerdekaan mereka atas nama otonomi kesukuan
pasti akan sangat diganggu dan diusik. Sehingga mereka cenderung untuk menahan
keinginan untuk memiliki raja, sampai akhirnya muncul penindasan dan di saat
bersamaan muncul hakim-hakim di tengah-tengah orang Israel.
II. Raja Yang
Dijanjikan
Ulangan 17:14-20 tidak berbicara bahwa Allah tidak
merencanakan Israel untuk mengangkat seorang raja, akan tetapi Tuhan menunggu
waktu yang tepat. Untuk selamanya Israel berada di bawah pemerintahan Allah,
karena Tuhan memerintah kekal untuk selama-lamanya (Kel. 15:18). Pengangkatan
raja di bawah pimpinan Allah merupakan sesuatu yang sudah direncanakan oleh Allah.
Allah mengangkat raja-raja di
Israel; itu berarti bahwa Ia mengikut-sertakan tokoh-tokoh manusia tertentu di
dalam pemerintahanNya sendiri atas umat itu. Semua raja dan pemerintah di bumi
memperole kuasa dari atas; raja-raja Israel selebihnya diangkat sebagai saksi
kerajaan Allah yang datang. Upacara pengangkatan raja-raja Israel meneguhkan
fungsi mereka sebagai penyelamat, pembela keadilan dan pembawa damai-sejahtera
di bumi, pertama-tama di dalam lingkungan umat itu sendiri.[1]
Rencana untuk mengangkat raja atas
orang Israel sempat diwacanakan oleh orang Israel di kala Gideon memberi
kemenangan besar melawan Midian. Bahkan ia dan keturunannya ditawari untuk
memerintah turun-temurun, meskipun ia menolaknya. Akan tetapi anak Gideon
(Yerubaal), yaitu Abimelekh cukup tamak dan mengangkat diri menjadi raja di
Sikhem, bahkan ia membunuh semua anak ayahnya yang berjumlah 70 orang.
Kemudian berlanjut pada saat pemerintahan
hakim yang terakhir yaitu Samuel. Di masa tuanya bangsa Israel meminta
kepadanya agar mengangkat seorang raja, karena didapati bahwa anak Samuel
bertindak tidak benar. Namun motivasi sebenarnya adalah karena mereka
menginginkan raja seperti bangsa lain, dan menolak pemerintahan teokrasi ( I
Sam. 8:4-9).
Allah kemudian mengangkat Saul
menjadi raja atas orang Israel. Ia menjalankan hukum Musa dan membawa orang
Israel kembali kepada jalan yang benar. Namun sebagai orang yang diurapi Tuhan,
bagaimana mungkin Saul ditolak Allah di kemudian hari? Apakah karena ia berasal
dari suku Benyamin yang tidak dijanjikan Allah seperti suku Yehuda (Kej.
49:10)? Apakah Allah salah pilih, karena Saul juga orang yang diurapi-Nya?
Sebuah
jawaban dari Patrick Fairbairn dianggap cukup menjawab pertanyaan ini: Setelah
bangsa itu benar-benar menyesali kesalahan mereka karena meminta diangkatnya
seorang raja menurut syarat-syarat duniawi mereka, diperbolehkan mengangkat
salah seorang dari mereka ke atas singgasana. . . Dan untuk membuat maksud
Tuhan dalam hal ini nyata kepada semua orang yang mempunyai mata untuk melihat
dan yang telinga untuk mendengar, Tuhan membiarkan pilihan jatuh pertama-tama
kepada seorang yang – melambangkan kegagahan dan hikmat duniawi dari bangsa itu
- agak cenderung untuk memerintah dengan
tunduk secara rendah hati kepada kehendak dan kuasa Surgawi, dan oleh karenanya
digantikan oleh orang lain yang harus bertindak sebagai wakil Allah, dan secara
khusus memakai nama hamba-Nya.[2]
Dengan
cara inilah Allah ingin menunjukkan kepada manusia bahwa Ia adalah pemerintah
tertinggi. Segala ukuran duniawi yang diukurkan kepada Saul sebagai orang yang
paling mampu untuk memerintah dimentahkan oleh Allah, karena seperti Firman
Allah berkata: “ manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat
hati.” ( 1 Sam. 16:7; di kala Allah memilih Daud – hamba-Nya sebagai raja
menggantikan Saul). Seorang raja yang diangkat oleh Allah, tidak boleh
melakukan hal sesuka hatinya (I Sam. 15:22-23) karena tetap Allah adalah
pemerintah tertinggi atas Israel. Dosa kemurtadan ini sudah terjadi berkali-kali
pada masa hakim-hakim, dimana Allah menyerahkan orang Israel ke tangan musuhnya
karena dosa mereka sendiri. Perbuatan dosa orang Israel inilah yang menjadi
dasar diserahkannya mereka kepada bangsa lain.
Kesalahan
terletak bukan karena Allah tidak menghendaki terciptanya monarkhi sebagai
sebuah institusi, namun yang lebih penting untuk diperhatikan adalah bergantungnya
orang-orang Israel baik pada masa Abimelekh maupun Saul untuk mengangkat
seorang raja. Raja bukanlah seorang penolong yang dapat membela rakyatnya,
tetapi Tuhanlah yang membela orang Israel.
Maka
setelah Saul ditolak sebagai raja, Tuhan mengangkat bagi orang Israel Daud
sebagai seorang raja. Meskipun keduanya adalah orang yang diurapi Tuhan, dan dipenuhi
oleh Roh Allah, namun Roh Allah dicabut atas Saul setelah ia mendurhaka
terhadap Tuhan. ia tidak memiliki watak untuk mengkonsolidasikan posisi
kepemimpinannya.
Sangat
jauh berbeda dengan apa yang dilakukan Daud. Relasinya dengan Tuhan diprakarsai
oleh Tuhan sendiri yang selalu menyertai dia . adalah berkat penyertaan yang
rela ini, kalau Daud bukan hanya selalu menanyakan kehendak Tuhan pada
saat-saat yang genting, melainkan selalu juga menerima jawaban dan petunjuk
ilahi kearah yang baik. Bersoal-jawab dengan Tuhan, berteriak minta tolong atau
mengucap syukur kepadaNya, semuanya itu menjadi syarat hidup bagi Daud, ibarat
makanan sehari-hari atau udara untuk bernapas.[3]
Daud
bukanlah orang yang sebegitu kudusnya. Ia pernah juga jatuh ke dalam dosa
perzinahan. Meskipun secara kasat mata untuk ukuran dunia, seorang raja berhak
untuk memperoleh apa yang diingini dari rakyatnya, tapi perlu diingat bahwa Israel
diperintah oleh TUHAN! Meskipun ia jatuh, namun rencana Tuhan yang kekal tetap
terlaksana darinya.
Gelar
yang diurapi Tuhan (Massiah) biasa
disematkan kepada seorang raja. Yang dikemudian hari gelar ini diberikan kepada
Seorang keturunan Daud yang akan menyempurnakan Kerajaan Allah di muka bumi,
dengan pemerintahan mutlak Allah yang berdaulat atas seluruh bumi. Dia adalah
Mesias (Raja yang diurapi) yaitu Tuhan kita Yesus Kristus.
III. Dinasti Yang Dijanjikan
Janji berkat Allah kepada Daud yang
selanjutnya adalah tentang pembangunan Bait Allah. II Samuel 7 yang kemudian
ditafsirkan dalam Mazmur 89 berbicara tentang kerinduan Daud untuk membangun
Bait Allah. Di dalam pemikirannya, Daud merenungkan status kediaman Allah. Ia
tidak menerima keadaan dimana Allah tinggal di suatu kemah, sehingga hendak
mendirikan sebuah rumah untuk Allah berdiam.
Namun
usahanya ini tidak direstui oleh Tuhan, yang disampaikan oleh Nabi Natan. Namun
Tuhan berfirman bahwa anaknya lah yang kemudian akan membuat rumah bagi nama
Yahweh dan dari keturunannya lah kerajaan Daud akan tetap kokoh untuk
selama-lamanya.
Suatu
usaha yang sangat baik dilakukan oleh Daud dengan mempersiapkan sebuah tanah
yang dibeli dari Ornan, orang Yebus dengan cara yang benar. Ia membayar tanah
tersebut dengan 600 syikal emas, suatu usaha untuk membela Perjanjian Allah
dengan teladan keadilan dan kebenaran dalam usaha mendapatkan tanah itu.
Berbicara
tentang Bait Suci sangat erat kaitannya dengan berdirinya suatu kerajaan di
Timur Dekat Kuno pada masa pemerintahan Daud. Keturunan Daud harus dibangkitkan
terlebih dahulu, sebelum keturunannya yang akan membangun rumah bagi Allah. Janji
Allah tentang keturunan berada lebih penting dibandingkan dengan tegaknya
sebuah kerajaan karena adanya rumah untuk Tuhan. Dengan kata lain Allah menghendaki
dari Daud lahir sebuah dinasti (keturunan) yang akan dikokohkan Allah untuk
selama-lamanya. Suatu pemerintahan yang didirikan oleh Allah sendiri, dan tidak
dapat digoyahkan oleh siapa pun karena Allahlah yang mendirikannya.
Berbicara
tentang keturunan, mempunyai arti kolektif, dan arti satu oknum yang mewakili keseluruhan
kelompok. Janji keturunan Daud yang mendirikan Bait Allah bukan hanya berbicara
tentang Salomo saja, tetapi juga tentang keturunannya yang tetap untuk berada
di kerajaan yang kekal. Khesed dari Allah lah yang membuat Daud dan
keturunannya tetap diperkenankan oleh Allah untuk proses kehadiran Mesias.
Keberadaan
raja-raja adalah sesuatu yang dijanjikan oleh Allah sendiri (Kej. 17:6, 16;
35:11) yang kemudian diberikan Allah kepada Daud. Keberadaan kerajaan tidak
berarti Allah melepaskan kekuasaan-Nya, akan tetapi Allah sendiri adalah
pemiliki dari kerajaan itu. Pemerintahan yang teokrasi dan pemerintahan Daud
adalah suatu kesatuan yang tidak terpisahkan, karena keturunan Daud adalah
milik Allah.
Pernyataan
Allah tentang keberadaan Salomo (II Sam 7:14) yang disebut bahwa ia akan
menjadi anak-Nya dan Allah akan menjadi Bapanya merupakan suatu hal yang
disejajarkan dengan pemanggilan Israel kepada Allah (Ul. 32:6). Hal ini
merupakan suatu perlakuan khusus Allah kepada Daud dengan peringatan bahwa
Allah menyebut diri-Nya Bapa atas anaknya, dengan suatu pandangan bahwa ini
adalah sebuah anugerah Ilahi. Meskipun demikian kasih bapa kepada anaknya juga
terdapat teguran dan disiplin, meski hal tersebut tidak membatalkan perjanjian
Allah yang dengan kedaulatan-Nya memilih Daud sebagai seseorang yang sangat
mendapat perkenanan di mata-Nya.
IV. Perjanjian untuk kemanusiaan
Perjanjian dengan Daud merupakan kelanjutan dari berkat-berkat
Allah kepada pendahulunya. Pernyataan Allah di dalam II Sam 7 rupanya telah
diikrarkan sebelum masa Daud. Antara lain:
1). Aku membuat
besar namamu (II Sam. 7:9; bdg. Kej. 12:2, dll);
2). Aku
menentukan tempat bagi umat-Ku Israel dan menamakannya (II Sam. 7:10; bdg. Kej.
15:18; Ul. 11:24-25; Yos. 1:4-5);
3). Aku akan
membangkitkan keturunanmu yang kemudian (II Sam. 7:12; bdg. Kej 17:7-10, 19); 4). ia akan menjadi anak-Ku (II Sam. 7:14;
bdg. Kel. 4:22);
5.). Aku akan
mengangkat kamu menjadi umat-Ku dan Aku akan menjadi Allahmu (II Sam. 7:23-24;
bdg. Kej. 17:7-8; 28:21; Kel. 6:6; 29:45; Im. 11:45; 22:33; 23:43; 25:38;
26:12, 44-45; Bil. 15:41; Ul. 4:20; 29:12-13);
6). keunikan
Yahweh (II Sam 7:22; bdg. Kel 8:10; 9:14; 15:11; Ul. 33:26; Mzm. 18:31; 89:6,
8); 7). keunikan Israel (II Sam. 7:23; bdg. Kel 1:9; Bil 14:12; Ul. 1:28-31;
5:26; 7;17-19; 9:14; 11:23, 20:1; 33:29);
8). penggunaan
secara luar biasa ungkapan Tuhan Allah (II Sam. 7:18-19, 22, 28-29) yang tidak
muncul lagi di Samuel dan Tawarikh.
Penggunaan Tuhan Allah merupakan
sesuatu yang sangat bermakna teologis, karena digunakan juga oleh Abraham.
Dengan kata lain berkat yang pernah diterima oleh Abraham kini turun juga ke
Daud. Dan saat Daud bertanya tentang apakah ia layak untuk menerima berkat
tersebut, tentu saja tidak. Pemilihan Daud untuk memperoleh janji yang kekal
ini hanya karena Khesed dari Allah.
Namun
ada suatu pernyataan di dalam Terjemahan Lama, dalam ayat 19 b ada kalimat
“maka ia itu menjadi bagi manusia suatu hukum.” Menurut Willis J. Beecher dan
C. F. D. Erdmann, kata “ia itu” merupakan suatu keturunan. Dan hukum di sini
bukan merujuk kepada Hukum Taurat, tetapi mengandung arti perjanjian. Sehingga Waiter
Kaiser menyimpulkan kata “ia itu” merupakan perjanjian untuk kemanusiaan merujuk
kepada janji yang telah disediakan Allah sejak jaman nenek moyang Daud, yakni
Abraham. Suatu janji tentang menjadi berkat bagi semua bangsa.
V. Kerajaan
yang dijanjikan
Anugerah Allah kepada Daud bukanlah seperti
cek kosong yang bebas ditulisi dan digunakan sesuka hati. Dalam II Samuel 23:5
disebutkan bahwa Allah memelihara perjanjian-Nya kepada Daud untuk
selama-lamanya dikarenakan kekudusan perjanjian-Nya. Namun bukan berarti
perjanjian itu tetap terlaksana meskipun orang berlaku tidak setia, seperti
yang dilakukan oleh orang Israel dengan melakukan pemberontakan terhadap Tuhan.
Pengingkaran perjanjian dari keturunan Daud dengan berlaku bercela dihadapan
Allah, tidaklah bersifat kolektif, akan tetapi dosa individu itu sendiri. Dosa
dari keturunan Daud tidak bisa menghentikan rencana Allah yang kekal.
Dosa keturunan para penerima tidak menghalangi
rencana kekal. Namun dosa keturunan itu bisa menghambat dan janji kepadanya
dihilangkan, namun sekali lagi itu adalah dosa personal. Sebejat apapun
keturunan Daud di kemudian hari, namun tidak batalnya perjanjian merupakan
bukti bahwa perjanjian itu adalah Perjanjian Kekal.
Lebih jauh kita melihat bahwa
kekekalan perjanjian ini erat kaitannya dengan kehadiran Yahweh di masa
pemerintahan Daud. Tabut Perjanjian merupakan suatu unsur yang sangat penting di
dalam sejarah bangsa Israel pada PL. Pada PL, Tabut Perjanjian merupakan
sesuatu yang sangat kultus. Kekudusan Allah baik secara lahiriah juga batiniah diwakilkan
oleh Tabut Perjanjian ini. Ia menyatakan diri-Nya dengan rendah hati kepada
orang Israel, meskipun Ia adalah Allah yang begitu luar biasa. Maka ketika Daud
rindu untuk membuat nama Allah diam di Yerusalem, sebelum Salomo membuat Bait
Allah, ia menyadari pentingnya Tabut Tuhan yang merupakan lambang kehadiran
Yahweh di tengah-tengah umat-Nya.
Pengetahuan
akan pentingnya Tabut Perjanjian membuat hubungan antar Tabut Perjanjian dan
kerajaan Daud, keduanya tidak dapat terpisahkan. Salah satu Mazmur Daud, di
dalam Mazmur 132 berkata tentang permohonan Daud kepada Allah untuk
mengingatnya dan agar Allah berada di tempat perhentian-Nya. Meskipun sekali
lagi adalah suatu hal yang bodoh untuk membatasi Tuhan yang Mahahadir pada
suatu tempat, namun sekali lagi kemurah hatian-Nya yang mau membuat diri-Nya
bersemayam di sebuah tempat.
Selanjutnya penting juga bagi kita untuk
melihat mazmur rajawi pada dinasti Daud merupakan suatu keterkaitan dengan
kerajaan Allah. Mazmur rajawi berpusat kepada Daud, yang menjadi raja atas umat
Tuhan. Di dalam Mazmur 2, sorotan kemenangan merupakan topik utama bukan hanya
berbicara tentang pemerintahan Daud semata tetapi lebih dari itu focus utama
dari mazmur ini adalah Kristus. Ungkapan: “hari ini telah Kuperanakkan engkau”
merupakan suatu pernyataan kemenangan Kristus pada hari kebangkitan-Nya (Kis.
13:30-33) lewat ungkapan Paulus. Keberhasilan Daud di dalam II Sam 22 yang
berkaitan dengan Mazmur 18 merupakan kegemilangan dari Daud. Namun lebih dari
itu Nama Allah ditinggikan melalui kehidupannya, dan perjanjian Allah yang
kekal semakin nampak jelas. Keterkaitan antara Mazmur 20-21, dan Kristus yang
dinyatakan dalam Mazmur 45:7 yang menyebut bahwa diri-Nya adalah Elohim. Takhta
Daud merupakan kiasan dalam Mazmur 45, Daud merupakan simbol Kerajaan Allah di
bumi, dalam arti lain ia merupakan gambaran Allah di bumi. Selanjutnya Mazmur
72 berbicara tentang berkat, kekekalan dan kekuasaan kerajaan Daud.
II Samuel 7 dalam tafsirannya sangat
erat keterkaitannya dengan Mazmur 89, ditambah dengan Mazmur 101 yang memohon
bimbingan Allah, dan Mazmur 110 yang paling sering dikutip dalam Perjanjian
Baru. Kedudukan nabi dan raja dikaitkan tentang Mesias, yakni raja dari suatu
kerajaan Allah (Israel) yang kudus, dan Raja Daud juga dijadikan raja imam
menurut Melkisedek, seperti Abraham pendahulunya. Lalu Mazmur 132 berbicara
tentang tabut Tuhan yang dibawa ke Yerusalem dan digunakan untuk menahbiskan
Bait Allah merupakan tanda bahwa sesungguhnya kerajaan Allah sungguh sudah ditegakkan
oleh dinasti Daud. Merupakan tipologi dari kedatangan Yesus untuk menegakkan
kerajaan Allah di muka bumi. Yang terakhir adalah Mazmur 144 yang menceritakan
tentang kelepasan yang diberikan Allah kepada Daud. Mazmur-mazmur ini berbicara
tentang keberhasilan seorang raja yang adil dan benar membawa umat pilihan
kepada berkat, dan raja yang lalim kepada hukuman. Daud Yang Baru yakni Kristus
adalah raja yang bijaksana, adil, dan sempurna yang akan memimpin sebuah umat
di dalam Kerajaan Kekal.
Sebuah kelanjutan tentang dinasti
Daud di bawah pemerintahan Salomo merupakan suatu periode keberhasilan yang
gilang gemilang pada awal pemerintahannya. Meskipun di kemudian hari Salomo sangat
jauh dari gambaran Ilahi pada diri ayahnya, sekali lagi Allah menunjukkan bahwa
janji-Nya adalah janji yang kekal. Allah yang setia yang memelihara perjanjian
kekal-Nya.
Daftar
pustaka:
1.
C. Kaiser, Waiter, The Promise-Plan of
God, A Biblical Theology of The Old Testament. Zondervan, Grand Rapids,
Michigan, 2008.
2.
B. Zuck, R., Teologi Alkitabiah
Perjanjian Lama. Malang: Gandum Mas, 2005.
3.
Barth, C., Teologi Perjanjian Lama volume
2. Malang: Gandum Mas, 2005.
4.
Burge, G., Palestina Milik Siapa?.
Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2010.
[2] C.
Kaiser, Waiter, The Promise-Plan of God,
A Biblical Theology of The Old Testament. Zondervan, Grand Rapids,
Michigan, 2008. Hal 191.