Tuesday, February 24, 2015

Kerajaan Daud

Davidical Era – The Promised King
(Raja yang dijanjikan)


I.    Pendahuluan
            Perjanjian antara Allah dengan Daud yang terdapat pada II Samuel 7 menempati tempat yang sangat penting di dalam sejarah karya keselamatan, dan dapat disejajarkan dengan perjanjian antara Allah dengan Abraham, dan antara Allah dengan Israel dan Yehuda di dalam perjanjian yang baru (Yer. 31:31-34).
            Selain perjanjian Allah dengan Daud yang terdapat pada II Samuel 7, Kaiser mengambil tiga sudut pandang yang berbeda dengan teolog-teolog lainnya, yakni: 1). Narasi berurutan tentang riwayat hidup Daud (II Sam. 9-20 dan I Raj. 1-2; I Sam. 16-31, dan II Sam. 1-8; 21-24); 2). Mazmur-mazmur rajawi (Maz. 2, 18, 20, 21, 45, 72, 89, 101, 110, 132, 144:1-11), dan; 3). Sejarah tabut perjanjian (I Sam. 4:1-7:2), dan waktu Daud memindahkan tabut perjanjian ke Yerusalem (II Sam. 6).
            Sebelum masuk ke dalam pembahasan yang lebih dalam, perlu bagi kita untuk mengetahui bahwa pemerintahan hakim-hakim mendahului pemerintahan raja-raja. Pada masa hakim-hakim persekutuan di antara orang Israel tidak terlalu kuat, mereka hanya berkumpul pada saat-saat tertentu seperti berperang dan mempersembahkan korban.
            Rapihnya organisasi bangsa-bangsa tetangga yang dipimpin oleh raja membuat orang Israel menginginkan adanya seorang raja untuk memerintah atas mereka. Namun di sisi lain suku-suku Israel juga kesal karena secara otomatis kemerdekaan mereka atas nama otonomi kesukuan pasti akan sangat diganggu dan diusik. Sehingga mereka cenderung untuk menahan keinginan untuk memiliki raja, sampai akhirnya muncul penindasan dan di saat bersamaan muncul hakim-hakim di tengah-tengah orang Israel.

II.  Raja Yang Dijanjikan
            Ulangan 17:14-20 tidak berbicara bahwa Allah tidak merencanakan Israel untuk mengangkat seorang raja, akan tetapi Tuhan menunggu waktu yang tepat. Untuk selamanya Israel berada di bawah pemerintahan Allah, karena Tuhan memerintah kekal untuk selama-lamanya (Kel. 15:18). Pengangkatan raja di bawah pimpinan Allah merupakan sesuatu yang sudah direncanakan oleh Allah.
            Allah mengangkat raja-raja di Israel; itu berarti bahwa Ia mengikut-sertakan tokoh-tokoh manusia tertentu di dalam pemerintahanNya sendiri atas umat itu. Semua raja dan pemerintah di bumi memperole kuasa dari atas; raja-raja Israel selebihnya diangkat sebagai saksi kerajaan Allah yang datang. Upacara pengangkatan raja-raja Israel meneguhkan fungsi mereka sebagai penyelamat, pembela keadilan dan pembawa damai-sejahtera di bumi, pertama-tama di dalam lingkungan umat itu sendiri.[1]
            Rencana untuk mengangkat raja atas orang Israel sempat diwacanakan oleh orang Israel di kala Gideon memberi kemenangan besar melawan Midian. Bahkan ia dan keturunannya ditawari untuk memerintah turun-temurun, meskipun ia menolaknya. Akan tetapi anak Gideon (Yerubaal), yaitu Abimelekh cukup tamak dan mengangkat diri menjadi raja di Sikhem, bahkan ia membunuh semua anak ayahnya yang berjumlah 70 orang.
            Kemudian berlanjut pada saat pemerintahan hakim yang terakhir yaitu Samuel. Di masa tuanya bangsa Israel meminta kepadanya agar mengangkat seorang raja, karena didapati bahwa anak Samuel bertindak tidak benar. Namun motivasi sebenarnya adalah karena mereka menginginkan raja seperti bangsa lain, dan menolak pemerintahan teokrasi ( I Sam. 8:4-9).
            Allah kemudian mengangkat Saul menjadi raja atas orang Israel. Ia menjalankan hukum Musa dan membawa orang Israel kembali kepada jalan yang benar. Namun sebagai orang yang diurapi Tuhan, bagaimana mungkin Saul ditolak Allah di kemudian hari? Apakah karena ia berasal dari suku Benyamin yang tidak dijanjikan Allah seperti suku Yehuda (Kej. 49:10)? Apakah Allah salah pilih, karena Saul juga orang yang diurapi-Nya?
Sebuah jawaban dari Patrick Fairbairn dianggap cukup menjawab pertanyaan ini: Setelah bangsa itu benar-benar menyesali kesalahan mereka karena meminta diangkatnya seorang raja menurut syarat-syarat duniawi mereka, diperbolehkan mengangkat salah seorang dari mereka ke atas singgasana. . . Dan untuk membuat maksud Tuhan dalam hal ini nyata kepada semua orang yang mempunyai mata untuk melihat dan yang telinga untuk mendengar, Tuhan membiarkan pilihan jatuh pertama-tama kepada seorang yang – melambangkan kegagahan dan hikmat duniawi dari bangsa itu -  agak cenderung untuk memerintah dengan tunduk secara rendah hati kepada kehendak dan kuasa Surgawi, dan oleh karenanya digantikan oleh orang lain yang harus bertindak sebagai wakil Allah, dan secara khusus memakai nama hamba-Nya.[2]
Dengan cara inilah Allah ingin menunjukkan kepada manusia bahwa Ia adalah pemerintah tertinggi. Segala ukuran duniawi yang diukurkan kepada Saul sebagai orang yang paling mampu untuk memerintah dimentahkan oleh Allah, karena seperti Firman Allah berkata: “ manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.” ( 1 Sam. 16:7; di kala Allah memilih Daud – hamba-Nya sebagai raja menggantikan Saul). Seorang raja yang diangkat oleh Allah, tidak boleh melakukan hal sesuka hatinya (I Sam. 15:22-23) karena tetap Allah adalah pemerintah tertinggi atas Israel. Dosa kemurtadan ini sudah terjadi berkali-kali pada masa hakim-hakim, dimana Allah menyerahkan orang Israel ke tangan musuhnya karena dosa mereka sendiri. Perbuatan dosa orang Israel inilah yang menjadi dasar diserahkannya mereka kepada bangsa lain.
Kesalahan terletak bukan karena Allah tidak menghendaki terciptanya monarkhi sebagai sebuah institusi, namun yang lebih penting untuk diperhatikan adalah bergantungnya orang-orang Israel baik pada masa Abimelekh maupun Saul untuk mengangkat seorang raja. Raja bukanlah seorang penolong yang dapat membela rakyatnya, tetapi Tuhanlah yang membela orang Israel.
Maka setelah Saul ditolak sebagai raja, Tuhan mengangkat bagi orang Israel Daud sebagai seorang raja. Meskipun keduanya adalah orang yang diurapi Tuhan, dan dipenuhi oleh Roh Allah, namun Roh Allah dicabut atas Saul setelah ia mendurhaka terhadap Tuhan. ia tidak memiliki watak untuk mengkonsolidasikan posisi kepemimpinannya.
Sangat jauh berbeda dengan apa yang dilakukan Daud. Relasinya dengan Tuhan diprakarsai oleh Tuhan sendiri yang selalu menyertai dia . adalah berkat penyertaan yang rela ini, kalau Daud bukan hanya selalu menanyakan kehendak Tuhan pada saat-saat yang genting, melainkan selalu juga menerima jawaban dan petunjuk ilahi kearah yang baik. Bersoal-jawab dengan Tuhan, berteriak minta tolong atau mengucap syukur kepadaNya, semuanya itu menjadi syarat hidup bagi Daud, ibarat makanan sehari-hari atau udara untuk bernapas.[3]
Daud bukanlah orang yang sebegitu kudusnya. Ia pernah juga jatuh ke dalam dosa perzinahan. Meskipun secara kasat mata untuk ukuran dunia, seorang raja berhak untuk memperoleh apa yang diingini dari rakyatnya, tapi perlu diingat bahwa Israel diperintah oleh TUHAN! Meskipun ia jatuh, namun rencana Tuhan yang kekal tetap terlaksana darinya.
Gelar yang diurapi Tuhan (Massiah) biasa disematkan kepada seorang raja. Yang dikemudian hari gelar ini diberikan kepada Seorang keturunan Daud yang akan menyempurnakan Kerajaan Allah di muka bumi, dengan pemerintahan mutlak Allah yang berdaulat atas seluruh bumi. Dia adalah Mesias (Raja yang diurapi) yaitu Tuhan kita Yesus Kristus.

III. Dinasti Yang Dijanjikan
            Janji berkat Allah kepada Daud yang selanjutnya adalah tentang pembangunan Bait Allah. II Samuel 7 yang kemudian ditafsirkan dalam Mazmur 89 berbicara tentang kerinduan Daud untuk membangun Bait Allah. Di dalam pemikirannya, Daud merenungkan status kediaman Allah. Ia tidak menerima keadaan dimana Allah tinggal di suatu kemah, sehingga hendak mendirikan sebuah rumah untuk Allah berdiam.
Namun usahanya ini tidak direstui oleh Tuhan, yang disampaikan oleh Nabi Natan. Namun Tuhan berfirman bahwa anaknya lah yang kemudian akan membuat rumah bagi nama Yahweh dan dari keturunannya lah kerajaan Daud akan tetap kokoh untuk selama-lamanya.
Suatu usaha yang sangat baik dilakukan oleh Daud dengan mempersiapkan sebuah tanah yang dibeli dari Ornan, orang Yebus dengan cara yang benar. Ia membayar tanah tersebut dengan 600 syikal emas, suatu usaha untuk membela Perjanjian Allah dengan teladan keadilan dan kebenaran dalam usaha mendapatkan tanah itu.
Berbicara tentang Bait Suci sangat erat kaitannya dengan berdirinya suatu kerajaan di Timur Dekat Kuno pada masa pemerintahan Daud. Keturunan Daud harus dibangkitkan terlebih dahulu, sebelum keturunannya yang akan membangun rumah bagi Allah. Janji Allah tentang keturunan berada lebih penting dibandingkan dengan tegaknya sebuah kerajaan karena adanya rumah untuk Tuhan. Dengan kata lain Allah menghendaki dari Daud lahir sebuah dinasti (keturunan) yang akan dikokohkan Allah untuk selama-lamanya. Suatu pemerintahan yang didirikan oleh Allah sendiri, dan tidak dapat digoyahkan oleh siapa pun karena Allahlah yang mendirikannya.
Berbicara tentang keturunan, mempunyai arti kolektif, dan arti satu oknum yang mewakili keseluruhan kelompok. Janji keturunan Daud yang mendirikan Bait Allah bukan hanya berbicara tentang Salomo saja, tetapi juga tentang keturunannya yang tetap untuk berada di kerajaan yang kekal. Khesed dari Allah lah yang membuat Daud dan keturunannya tetap diperkenankan oleh Allah untuk proses kehadiran Mesias.
Keberadaan raja-raja adalah sesuatu yang dijanjikan oleh Allah sendiri (Kej. 17:6, 16; 35:11) yang kemudian diberikan Allah kepada Daud. Keberadaan kerajaan tidak berarti Allah melepaskan kekuasaan-Nya, akan tetapi Allah sendiri adalah pemiliki dari kerajaan itu. Pemerintahan yang teokrasi dan pemerintahan Daud adalah suatu kesatuan yang tidak terpisahkan, karena keturunan Daud adalah milik Allah.
Pernyataan Allah tentang keberadaan Salomo (II Sam 7:14) yang disebut bahwa ia akan menjadi anak-Nya dan Allah akan menjadi Bapanya merupakan suatu hal yang disejajarkan dengan pemanggilan Israel kepada Allah (Ul. 32:6). Hal ini merupakan suatu perlakuan khusus Allah kepada Daud dengan peringatan bahwa Allah menyebut diri-Nya Bapa atas anaknya, dengan suatu pandangan bahwa ini adalah sebuah anugerah Ilahi. Meskipun demikian kasih bapa kepada anaknya juga terdapat teguran dan disiplin, meski hal tersebut tidak membatalkan perjanjian Allah yang dengan kedaulatan-Nya memilih Daud sebagai seseorang yang sangat mendapat perkenanan di mata-Nya.

IV. Perjanjian untuk kemanusiaan
            Perjanjian dengan Daud merupakan kelanjutan dari berkat-berkat Allah kepada pendahulunya. Pernyataan Allah di dalam II Sam 7 rupanya telah diikrarkan sebelum masa Daud. Antara lain:
1). Aku membuat besar namamu (II Sam. 7:9; bdg. Kej. 12:2, dll);
2). Aku menentukan tempat bagi umat-Ku Israel dan menamakannya (II Sam. 7:10; bdg. Kej. 15:18; Ul. 11:24-25; Yos. 1:4-5);
3). Aku akan membangkitkan keturunanmu yang kemudian (II Sam. 7:12; bdg. Kej 17:7-10, 19);  4). ia akan menjadi anak-Ku (II Sam. 7:14; bdg. Kel. 4:22);
5.). Aku akan mengangkat kamu menjadi umat-Ku dan Aku akan menjadi Allahmu (II Sam. 7:23-24; bdg. Kej. 17:7-8; 28:21; Kel. 6:6; 29:45; Im. 11:45; 22:33; 23:43; 25:38; 26:12, 44-45; Bil. 15:41; Ul. 4:20; 29:12-13);
6). keunikan Yahweh (II Sam 7:22; bdg. Kel 8:10; 9:14; 15:11; Ul. 33:26; Mzm. 18:31; 89:6, 8); 7). keunikan Israel (II Sam. 7:23; bdg. Kel 1:9; Bil 14:12; Ul. 1:28-31; 5:26; 7;17-19; 9:14; 11:23, 20:1; 33:29);
8). penggunaan secara luar biasa ungkapan Tuhan Allah (II Sam. 7:18-19, 22, 28-29) yang tidak muncul lagi di Samuel dan Tawarikh.
            Penggunaan Tuhan Allah merupakan sesuatu yang sangat bermakna teologis, karena digunakan juga oleh Abraham. Dengan kata lain berkat yang pernah diterima oleh Abraham kini turun juga ke Daud. Dan saat Daud bertanya tentang apakah ia layak untuk menerima berkat tersebut, tentu saja tidak. Pemilihan Daud untuk memperoleh janji yang kekal ini hanya karena Khesed dari Allah.
Namun ada suatu pernyataan di dalam Terjemahan Lama, dalam ayat 19 b ada kalimat “maka ia itu menjadi bagi manusia suatu hukum.” Menurut Willis J. Beecher dan C. F. D. Erdmann, kata “ia itu” merupakan suatu keturunan. Dan hukum di sini bukan merujuk kepada Hukum Taurat, tetapi mengandung arti perjanjian. Sehingga Waiter Kaiser menyimpulkan kata “ia itu” merupakan perjanjian untuk kemanusiaan merujuk kepada janji yang telah disediakan Allah sejak jaman nenek moyang Daud, yakni Abraham. Suatu janji tentang menjadi berkat bagi semua bangsa.

V.  Kerajaan yang dijanjikan
            Anugerah Allah kepada Daud bukanlah seperti cek kosong yang bebas ditulisi dan digunakan sesuka hati. Dalam II Samuel 23:5 disebutkan bahwa Allah memelihara perjanjian-Nya kepada Daud untuk selama-lamanya dikarenakan kekudusan perjanjian-Nya. Namun bukan berarti perjanjian itu tetap terlaksana meskipun orang berlaku tidak setia, seperti yang dilakukan oleh orang Israel dengan melakukan pemberontakan terhadap Tuhan. Pengingkaran perjanjian dari keturunan Daud dengan berlaku bercela dihadapan Allah, tidaklah bersifat kolektif, akan tetapi dosa individu itu sendiri. Dosa dari keturunan Daud tidak bisa menghentikan rencana Allah yang kekal.
            Dosa keturunan para penerima tidak menghalangi rencana kekal. Namun dosa keturunan itu bisa menghambat dan janji kepadanya dihilangkan, namun sekali lagi itu adalah dosa personal. Sebejat apapun keturunan Daud di kemudian hari, namun tidak batalnya perjanjian merupakan bukti bahwa perjanjian itu adalah Perjanjian Kekal.
            Lebih jauh kita melihat bahwa kekekalan perjanjian ini erat kaitannya dengan kehadiran Yahweh di masa pemerintahan Daud. Tabut Perjanjian merupakan suatu unsur yang sangat penting di dalam sejarah bangsa Israel pada PL. Pada PL, Tabut Perjanjian merupakan sesuatu yang sangat kultus. Kekudusan Allah baik secara lahiriah juga batiniah diwakilkan oleh Tabut Perjanjian ini. Ia menyatakan diri-Nya dengan rendah hati kepada orang Israel, meskipun Ia adalah Allah yang begitu luar biasa. Maka ketika Daud rindu untuk membuat nama Allah diam di Yerusalem, sebelum Salomo membuat Bait Allah, ia menyadari pentingnya Tabut Tuhan yang merupakan lambang kehadiran Yahweh di tengah-tengah umat-Nya.
Pengetahuan akan pentingnya Tabut Perjanjian membuat hubungan antar Tabut Perjanjian dan kerajaan Daud, keduanya tidak dapat terpisahkan. Salah satu Mazmur Daud, di dalam Mazmur 132 berkata tentang permohonan Daud kepada Allah untuk mengingatnya dan agar Allah berada di tempat perhentian-Nya. Meskipun sekali lagi adalah suatu hal yang bodoh untuk membatasi Tuhan yang Mahahadir pada suatu tempat, namun sekali lagi kemurah hatian-Nya yang mau membuat diri-Nya bersemayam di sebuah tempat.
            Selanjutnya penting juga bagi kita untuk melihat mazmur rajawi pada dinasti Daud merupakan suatu keterkaitan dengan kerajaan Allah. Mazmur rajawi berpusat kepada Daud, yang menjadi raja atas umat Tuhan. Di dalam Mazmur 2, sorotan kemenangan merupakan topik utama bukan hanya berbicara tentang pemerintahan Daud semata tetapi lebih dari itu focus utama dari mazmur ini adalah Kristus. Ungkapan: “hari ini telah Kuperanakkan engkau” merupakan suatu pernyataan kemenangan Kristus pada hari kebangkitan-Nya (Kis. 13:30-33) lewat ungkapan Paulus. Keberhasilan Daud di dalam II Sam 22 yang berkaitan dengan Mazmur 18 merupakan kegemilangan dari Daud. Namun lebih dari itu Nama Allah ditinggikan melalui kehidupannya, dan perjanjian Allah yang kekal semakin nampak jelas. Keterkaitan antara Mazmur 20-21, dan Kristus yang dinyatakan dalam Mazmur 45:7 yang menyebut bahwa diri-Nya adalah Elohim. Takhta Daud merupakan kiasan dalam Mazmur 45, Daud merupakan simbol Kerajaan Allah di bumi, dalam arti lain ia merupakan gambaran Allah di bumi. Selanjutnya Mazmur 72 berbicara tentang berkat, kekekalan dan kekuasaan kerajaan Daud.  
            II Samuel 7 dalam tafsirannya sangat erat keterkaitannya dengan Mazmur 89, ditambah dengan Mazmur 101 yang memohon bimbingan Allah, dan Mazmur 110 yang paling sering dikutip dalam Perjanjian Baru. Kedudukan nabi dan raja dikaitkan tentang Mesias, yakni raja dari suatu kerajaan Allah (Israel) yang kudus, dan Raja Daud juga dijadikan raja imam menurut Melkisedek, seperti Abraham pendahulunya. Lalu Mazmur 132 berbicara tentang tabut Tuhan yang dibawa ke Yerusalem dan digunakan untuk menahbiskan Bait Allah merupakan tanda bahwa sesungguhnya kerajaan Allah sungguh sudah ditegakkan oleh dinasti Daud. Merupakan tipologi dari kedatangan Yesus untuk menegakkan kerajaan Allah di muka bumi. Yang terakhir adalah Mazmur 144 yang menceritakan tentang kelepasan yang diberikan Allah kepada Daud. Mazmur-mazmur ini berbicara tentang keberhasilan seorang raja yang adil dan benar membawa umat pilihan kepada berkat, dan raja yang lalim kepada hukuman. Daud Yang Baru yakni Kristus adalah raja yang bijaksana, adil, dan sempurna yang akan memimpin sebuah umat di dalam Kerajaan Kekal.
            Sebuah kelanjutan tentang dinasti Daud di bawah pemerintahan Salomo merupakan suatu periode keberhasilan yang gilang gemilang pada awal pemerintahannya. Meskipun di kemudian hari Salomo sangat jauh dari gambaran Ilahi pada diri ayahnya, sekali lagi Allah menunjukkan bahwa janji-Nya adalah janji yang kekal. Allah yang setia yang memelihara perjanjian kekal-Nya.















Daftar pustaka:
1. C. Kaiser, Waiter, The Promise-Plan of God, A Biblical Theology of The Old Testament. Zondervan, Grand Rapids, Michigan, 2008.
2. B. Zuck, R., Teologi Alkitabiah Perjanjian Lama. Malang: Gandum Mas, 2005.
3. Barth, C., Teologi Perjanjian Lama volume 2. Malang: Gandum Mas, 2005.
4. Burge, G., Palestina Milik Siapa?. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2010.



[1] Barth, C., Teologi Perjanjian Lama volume 2. Malang: Gandum Mas, 2005. Hal 62
[2] C. Kaiser, Waiter, The Promise-Plan of God, A Biblical Theology of The Old Testament. Zondervan, Grand Rapids, Michigan, 2008. Hal 191.
[3] Barth, C., Teologi Perjanjian Lama volume 2. Malang: Gandum Mas, 2005. Hal. 111

No comments:

Post a Comment